Narkotika, adalah zat adiktif yang bisa menyebabkan kelainan otak, sehingga mempengaruhi emosi, intelektual dan kepribadian, efek kecanduan bisa menyebabkan kematian.
(Sinar Harapan 2003) Menurut Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, psikiater yang aktif dalam pemberantasan NAZA (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif) berpesan kepada generasi muda senantiasa mewaspadai narkotika.
”Peran keluarga serta lingkungan, dan agama sebagai kontrol pergaulan remaja sangat penting dalam menghindari penyalahgunaan narkotika,” ujar Dadang Hawari di Jakarta, Rabu (11/8).
Psikiater yang aktif memberikan terapi bagi pecandu narkotika itu mengemukakan, sangat prihatin dengan banyaknya remaja mulai dari pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga mahasiswa.
Padahal, menurut dia, mereka adalah anak bangsa, aset negara dan merupakan generasi penerus. Banyak kasus yang ditanganinya, akibat hilangnya kontrol keluarga, serta lemahnya iman dan ketakwaan si penderita.
”Sebanyak 70 persen pasien saya yang menggunakan narkotika adalah remaja usia sekolah, baik yang duduk di bangku SMP, SMU, maupun Perguruan Tinggi,” katanya.
Menurut dia, mereka terkontaminasi hal-hal terlarang itu melalui pergaulan yang tidak sehat. Padahal, NAZA selain merusak sistem neurotransmitter (sinyal pengantar saraf).
Selain itu, mereka juga dapat terjerumus dalam dua hal yang fatal, yaitu terkena virus maupun sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (HIV/AIDS) dan pengaruh seks bebas akibat pengaruh narkotika yang dapat melemahkan fungsi kontrol diri, sehingga dorongan seksual tidak terkendalikan.
Bagi pengguna jarum suntik ke nadi (intravena) yang menerapkannya secara bergantian di kalangan pemadat jenis opiat (morfin dan heroin) juga berisiko tinggi menularkan HIV/AIDS.
Data statistik Departemen Kesehatan pada 1999 mencatat, terdapat dua hingga empat persen (sekitar empat juta hingga delapan juta jiwa) dari seluruh penduduk Indonesia yang menjadi pemakai narkoba. Sekitar 70 persen dari pecandu narkoba itu adalah anak usia sekolah berusia 14 hingga 21 tahun.
Dadang menyebutkan, pada 2003 Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat jumlah penderita ketergantungan NAZA mencapai angka tiga persen atau sekitar 6,6 juta jiwa.
Penyalahgunaan narkotika merupakan fenomena gunung es, yakni apa yang tampak tidak seperti aslinya. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat angka di lapangan bagi pecandu NAZA dapat diasumsikan menjadi 10 kali lipat dari jumlah yang tercatat resmi.
Dadang sangat prihatin, karena penyalahgunaan narkotika sudah banyak merengut nyawa ribuan putra-putri bangsa Indonesia. Penelitian yang dilakukan terhadap pasiennya menunjukkan, tingkat kematian penderita ketergantungan narkotika mencapai 17,16 persen.
”Banyak di antara anak-anak tersebut yang berpotensi menjadi orang hebat dan sukses, namun narkotika telah membuat mereka kehilangan masa depan,” katanya.
Hari Pemuda Internasional yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu, menurut dia, seharusnya mengingatkan generasi muda bahwa mereka adalah penerus harapan dan perjuangan bangsa sehingga potensi yang ada tidak boleh hilang, apalagi mati sia-sia.
Ia juga menegaskan, narkotika diharamkan dari segi agama dan undang-undang. Peredaran narkotika harus dihentikan dengan kerja sama berbagai pihak, yaitu orangtua, guru, masyarakat, terutama aparat pemerintah dan keamanan untuk menegakkan hukum.
”Bagi yang sudah terlibat dengan narkotika, berobat dan bertobatlah sebelum masuk penjara, serta berobat dan bertobat sebelum maut menjemput,” demikian Dadang Hawari. (*)
(Sinar Harapan 2003) Menurut Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, psikiater yang aktif dalam pemberantasan NAZA (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif) berpesan kepada generasi muda senantiasa mewaspadai narkotika.
”Peran keluarga serta lingkungan, dan agama sebagai kontrol pergaulan remaja sangat penting dalam menghindari penyalahgunaan narkotika,” ujar Dadang Hawari di Jakarta, Rabu (11/8).
Psikiater yang aktif memberikan terapi bagi pecandu narkotika itu mengemukakan, sangat prihatin dengan banyaknya remaja mulai dari pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga mahasiswa.
Padahal, menurut dia, mereka adalah anak bangsa, aset negara dan merupakan generasi penerus. Banyak kasus yang ditanganinya, akibat hilangnya kontrol keluarga, serta lemahnya iman dan ketakwaan si penderita.
”Sebanyak 70 persen pasien saya yang menggunakan narkotika adalah remaja usia sekolah, baik yang duduk di bangku SMP, SMU, maupun Perguruan Tinggi,” katanya.
Menurut dia, mereka terkontaminasi hal-hal terlarang itu melalui pergaulan yang tidak sehat. Padahal, NAZA selain merusak sistem neurotransmitter (sinyal pengantar saraf).
Selain itu, mereka juga dapat terjerumus dalam dua hal yang fatal, yaitu terkena virus maupun sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (HIV/AIDS) dan pengaruh seks bebas akibat pengaruh narkotika yang dapat melemahkan fungsi kontrol diri, sehingga dorongan seksual tidak terkendalikan.
Bagi pengguna jarum suntik ke nadi (intravena) yang menerapkannya secara bergantian di kalangan pemadat jenis opiat (morfin dan heroin) juga berisiko tinggi menularkan HIV/AIDS.
Data statistik Departemen Kesehatan pada 1999 mencatat, terdapat dua hingga empat persen (sekitar empat juta hingga delapan juta jiwa) dari seluruh penduduk Indonesia yang menjadi pemakai narkoba. Sekitar 70 persen dari pecandu narkoba itu adalah anak usia sekolah berusia 14 hingga 21 tahun.
Dadang menyebutkan, pada 2003 Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat jumlah penderita ketergantungan NAZA mencapai angka tiga persen atau sekitar 6,6 juta jiwa.
Penyalahgunaan narkotika merupakan fenomena gunung es, yakni apa yang tampak tidak seperti aslinya. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat angka di lapangan bagi pecandu NAZA dapat diasumsikan menjadi 10 kali lipat dari jumlah yang tercatat resmi.
Dadang sangat prihatin, karena penyalahgunaan narkotika sudah banyak merengut nyawa ribuan putra-putri bangsa Indonesia. Penelitian yang dilakukan terhadap pasiennya menunjukkan, tingkat kematian penderita ketergantungan narkotika mencapai 17,16 persen.
”Banyak di antara anak-anak tersebut yang berpotensi menjadi orang hebat dan sukses, namun narkotika telah membuat mereka kehilangan masa depan,” katanya.
Hari Pemuda Internasional yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu, menurut dia, seharusnya mengingatkan generasi muda bahwa mereka adalah penerus harapan dan perjuangan bangsa sehingga potensi yang ada tidak boleh hilang, apalagi mati sia-sia.
Ia juga menegaskan, narkotika diharamkan dari segi agama dan undang-undang. Peredaran narkotika harus dihentikan dengan kerja sama berbagai pihak, yaitu orangtua, guru, masyarakat, terutama aparat pemerintah dan keamanan untuk menegakkan hukum.
”Bagi yang sudah terlibat dengan narkotika, berobat dan bertobatlah sebelum masuk penjara, serta berobat dan bertobat sebelum maut menjemput,” demikian Dadang Hawari. (*)